🦧 Pelopor Fasisme Di Jepang Adalah

Jepang(1930-an) sedikit banyak telah mengadopsi paham fasisme yang ditandai dengan adanya perubahan kearah lembaga-lembaga yang totaliter. Sementara di Amerika Selatan, Argentina dan Chili juga sempat mengadopsi paham tersebut. Perkembangan Fasisme Fasisme kembali muncul dan eksis setelah Italia mengalami krisis ekonomi pasca perang dunia pertama. . - Dari atas podium sidang parlemen Jepang, Perdana Menteri Kuniaki Koiso merilis keputusan resmi Kekaisaran Jepang yang membuat seisi ruangan berguncang. Isi putusannya adalah Jepang berjanji akan memberikan kemerdekaan kepada Indonesia secepatnya, sebelum wilayah itu lumat diterkam pasukan Sekutu. Putusan sidang yang dibacakan pada 7 September 1944 itu segera memicu reaksi pelbagai pihak di tanah air, termasuk organisasi perkumpulan perempuan bikinan Jepang yang disebut Fujinkai. Dalam kondisi yang serba tak tentu, Fujinkai memutuskan untuk mengadakan rapat di Taman Raden Saleh, Jakarta, pada pertengahan September 1944. Melalui rapat itu, nyonya Abdurrachman selaku ketua Fujinkai Jakarta menyatakan keberatan jika perempuan tidak dilibatkan dalam usaha penyambutan kemerdekaan. “Perempuan Indonesia belum berpuas hati sampai kami bisa mengadakan sendiri pertemuan untuk menyambut kebahagiaan Indonesia merdeka di masa yang akan datang,” katanya seperti dilansir Asia Raya edisi 17 September 1944. Siti Fatimah dalam The Encyclopedia of Indonesia in the Pacific War 2010 hlm. 292 menyebutkan bahwa sejatinya perempuan Indonesia awalnya tidak sudi bergabung dengan Fujinkai. Akan tetapi, seiring waktu mereka berharap dapat melanjutkan gerakan emansipasi perempuan melalui organisasi tersebut. Demikian negosiasi secara tidak langsung antara perempuan dengan pihak Jepang telah terjadi sedari awal. Tuntutan tersebut sebagian memang sesuai dengan ideologi fasisme Jepang. Sejak tahun 1943, Jepang sudah berusaha membentuk jiwa militan di kalangan perempuan Indonesia melalui serangkaian propaganda. Hal ini ditunjukkan melalui pembentukan beberapa badan semi-militer istimewa bernama Barisan Srikandi. Propaganda Perempuan Militan Propaganda merupakan kawan setia Jepang sepanjang periode Perang Pasifik. Agar strategi ini berjalan mulus, Jepang selalu berusaha memusatkan informasi ke satu titik dengan jalan melarang diskusi-diskusi yang bersifat politik di setiap wilayah kekuasaannya. Sebelas hari setelah pemerintah kolonial Belanda menyerah pada bulan Maret 1942, Jepang dengan sigap menggulung habis partai-partai politik dan organisasi pergerakan di Indonesia. Organisasi perempuan yang saat itu tengah tumbuh tidak luput terkena imbasnya. Mereka dipaksa untuk menggabungkan diri ke dalam satu wadah bernama Fujinkai yang diresmikan pada 3 November 1943 di Jakarta. Fujinkai pada hakikatnya dibentuk memakai dasar-dasar perkumpulan perempuan militan Jepang yang bernama Dai Nippon Fujinkai. Di Jepang, anggota Fujinkai mencapai 15 juta perempuan berusia 20 tahun ke atas. Tugas mereka selalu berkaitan dengan pertahanan garis belakang, seperti mendukung perekonomian dan pengadaan peralatan perang. Fungsi Fujinkai di Indonesia tidak berbeda dengan apa di Jepang. Namun, karena Indonesia belum memiliki industri alat-alat berat, maka sebagian anggota Fujinkai lebih sering dikerahkan di bidang domestik seperti bercocok tanam dan membuat baju karung goni bagi para pekerja romusha. Di pengujung tahun 1944, pemerintah Jepang di Indonesia sudah menunjukan gelagat kewalahan mempertahankan kekuasaan mereka di Asia Tenggara. Oleh karena itu, Jepang mulai memobilisasi kaum perempuan melalui serangkaian propaganda. Anna Mariana dalam Perbudakan Seksual Perbandingan Antara Masa Fasisme Jepang dan Neofasisme Orde Baru 2015 hlm. 29 menyebut segala upaya pengerahan kaum perempuan didukung sistem pemerintahan yang berasas militerisme. Melalui tuntutan-tuntutan yang dikeluarkan Fujinkai, Jepang memberi kesan seolah perempuan Indonesia berusaha menanggalkan nilai-nilai ketimurannya. Oleh karena itu, Jepang beralasan bahwa mereka patut dididik kembali sebelum pasukan Sekutu menyerbu Indonesia. Beberapa bulan sebelum Nyonya Abdurrachman menyampaikan pidatonya yang berapi-api dalam rapat Fujinkai, sejumlah surat kabar serempak mengampanyekan konsep perempuan ideal serta tanggung jawab mereka di era perang suci. “Perempuan Indonesia telah diberikan hak dan tanggung jawab. Mereka sekarang memiliki kesempatan untuk menentukan nasib sendiri dengan segala konsekuensinya. Diharapkan mereka mempertahankan moralitas ketimuran,” tulis surat kabar Asia Raya edisi 28 Agustus 1944. Pada bulan Maret, surat kabar Tjahaja bahkan merilis artikel hasil tulisan seorang anggota Fujinkai bernama Juningsih yang bertujuan mengampanyekan sosok Sembadra dari tradisi pewayangan Jawa yang lemah lembut dan setia kepada suami. Di saat bersamaan, artikel yang sama juga menyebut pentingnya perempuan Indonesia menjadi seperti Srikandi. “Srikandi adalah perempuan yang sangat berani, siap mengorbankan diri melindungi tanah airnya, sementara Sembadra memiliki moral yang tinggi, suci, setia, dan pemimpin dan pengajar yang ideal,” tulis Juningsih dalam Tjahaja edisi 4 Maret 1944 seperti dikutip Siti Fatimah hlm. 296.Bukan sebuah kebetulan jika satu bukan kemudian, surat kabar yang sama memberitakan pembentukan Barisan Srikandi. Kelompok ini wajib diikuti oleh perwakilan gadis remaja dari setiap desa di Karesidenan Jakarta. Menurut catatan Fatimah, lebih dari 660 gadis berusia 15 sampai 20 tahun dipaksa memenuhi panggilan latihan memanggul senjata dan berpartisipasi dalam perang Asia Timur Raya hlm. 297. Infografik Barisan Srikandi. Pelopor Laskar Perempuan Barisan Srikandi secara resmi berdiri pada bulan April 1944 di Jakarta. Badan semi-militer ini dibentuk di bawah Fujinkai melalui pangreh praja. Agar tidak menimbulkan kesan badan ini dikuasai sepenuhnya oleh Jepang, maka putri Residen Jakarta yang bernama Sudharti Sutarjo ditunjuk sebagai pimpinan pelatih membawahi tiga orang guru perempuan. Berdasarkan tulisan Nino Oktorino dalam Nusantara Membara "Heiho" Barisan Pejuang Indonesia yang Terlupakan 2019 hlm. 31 diketahui bahwa Barisan Srikandi merupakan barisan istimewa. Para anggotanya wajib mengikuti pelatihan keprajuritan di tangsi-tangsi militer sembari dijejali tata krama dan adat kewanitaan. “Pihak Jepang menginginkan agar jiwa, jasmani, dan rohani anggota Barisan Srikandi tergembleng oleh latihan ilmu keprajuritan itu agar mereka dapat menjadi pemimpin wanita yang berbudi luhur, di samping tugasnya sehari-hari sebagai ibu rumah tangga,” tulis Oktorino. Ohorella dan kawan-kawan dalam Peranan Wanita Indonesia Dalam Masa Pengerakan Nasional 1992 hlm. 40 menjelaskan bahwa Barisan Srikandi memang dipersiapkan untuk bertempur lantaran proporsi pelatihan militernya yang unggul. Akan tetapi, harapan Jepang menerjunkan barisan ini ke garis depan tidak pernah tercapai. Tepat setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaan, Fujinkai beserta seluruh sub-organisasinya turut dibubarkan kabar kekalahan Jepang sampai ke telinga golongan muda pada 14 Agustus 1945, beberapa anggota Barisan Srikandi menjadi perempuan-perempuan pertama yang ikut menyebarkan berita kemerdekaan ke seluruh Jakarta. Bersama gerakan pemuda bawah tanah, mereka ikut dalam aksi perampasan senjata dan bahan baku pembuatan bendera di gudang-gudang milik Jepang. “Dalam aksi tersebut, kami dari Barisan Srikandi turut serta menurunkan bendera di kantor-kantor, yakni menurunkan bendera Jepang dan mengibarkan Sang Merah Putih. Setelah itu, kami ditugaskan untuk membagi-bagikan bendera itu ke seluruh Jakarta,” tutur Partinah dalam kumpulan tulisan Seribu Wajah Wanita Pejuang Dalam Kancah Revolusi 45 Jilid I 1995, hlm. 183.Sepanjang perang revolusi, anggota Barisan Srikandi berpencar ke seluruh penjuru Jawa. Banyak di antara mereka yang memilih berjuang bersama Laskar Wanita Indonesia Laswi dalam pertempuran mempertahankan Bandung. Beberapa di antaranya ada pula yang tercatat sebagai pendiri badan kelaskaran Pemuda Putri Republik Indonesia yang punya andil dalam pertempuran Surabaya pada 10 November 1945. - Humaniora Penulis Indira ArdanareswariEditor Irfan Teguh Segala sesuatu yang identik dengan Jepang selalu menjadi pelopor tren di Asia. Wajar saja hal tersebut terjadi dikarenakan Jepang termasuk negara maju di kawasan Asia. Bahkan beragam produk Jepang selalu mudah menyebar luas di kawasan negara lain. Beragam produk Jepang tersebut mulai dari teknologi, mobil dan fashion. Sebagai negara maju, Jepang menjadi role model dari berbagai negara lainnya khususnya di Asia. Termasuk fashionnya yang unik sehingga mudah menyebar luas pada kawasan negara lainnya, tidak hanya di Asia tetapi juga hingga Eropa. Salah satu tren nya adalah harajuku. Bahkan banyak negara lain yang mengadopsi gayanya. Daftar Isi Sejarah Fashion di Jepang Tren Fashion di Jepang Ciri Khas Fashion di Jepang Adanya Klub Pecinta Fashion Jepang Sejarah Fashion di Jepang Seperti pada negara lainnya saat zaman purba banyak yang menggunakan pakaian dari kulit binatang yang sederhana, bahkan tidak ada mode sama sekali. Barulah memasuki abad pertengahan mengenal kimono. Kimono menjadi fashion di Jepang yang orisinal. Hingga saat ini, kimono menjadi baju tradisional Jepang. Dari kimono tersebut lahir pakaian kimono bangsawan yang disebut sebagai junihitoe. Pada abad pertengahan, junihitoe disebut sebagai pakaian yang mewah dan mahal. Pakaian ini sejenis kimono, hanya dipakai berlapis-lapis. Maka dari itu, disebut sebagai kimono 12 lapis, dan hanya digunakan oleh kalangan bangsawan serta keluarga lerajaan. Masih pada abad yang sama, dalam mode pakaian lain bangsawan, lain juga rakyat biasa. Di abad pertengahan tersebut, rakyat biasa menggunakan kosode. Pakaian ini sejenis kimono yang terbuat dari kain linen. Untuk membedakan dengan baju yang dipakai bangsawan, terlihat dari warna dan coraknya. Barulah ketika memasuki perang dunia ke II, tren berpakaian di Jepang lebih berkembang pesat dan dinamis. Hal ini dikarenakan interaksi Jepang dengan dunia luar cukup intens. Dengan demikian penggunaan kosode pun dimodifikasi dengan item busana lainnya. Begitu juga dengan warna dan corak yang digunakannya. Penggunaan warnanya lebih mencolok. Artikel Pilihan Tren Fashion di Jepang Perkembangan mode pakaian di Jepang cukup meningkat signifikan, dari hanya sebatas kimono hingga pakaian modern. Bahkan saat ini tren berpakaian gaya Jepang diikuti oleh banyak negara lainnya serta tidak jarang mereka pun mendirikan klub khusus untuk pecinta mode pakaian Jepang. Berikut ini daftar tren berpakaian ala Jepang yang banyak diminati 1. Harajuku Nama model pakaian ini diambil dari sebuah tempat di Tokyo. Tepatnya di dekat stasiun JR Harajuku, di distrik Shibuya. Kawasan tersebut menjadi tempat berkumpul anak-anak muda pecinta seni. Bentuk kecintaan seni nya tersebut diaplikasikan dalam mode berpakaian dan terlahirlah nama Harajuku, karena dari kawasan tersebut awal mula terlahir. 2. Cosplay Maraknya perkembangan anime di Jepang, membuat penggemarnya banyak yang ingin meniru kostum tokoh anime tersebut. Saking menggemari salah satu tokoh anime, penggemar anime tersebut rela untuk mencat warna rambutnya agar mirip dengan tokoh anime dengan menggunakan kostum anime favoritnya. 3. Gothika Lolita Mode pakaian ini memiliki ciri khas penggunaan model baju pada zaman Victoria di Inggris serta dilengkapi dengan ankle boots tebal. Tren ini berkembang di kalangan gadis Jepang pada tahun 90-an. Selain itu penggunaan warna pastel diaplikasikan pada warna pakaian, riasan, dan juga aksesoris, yang menjadi ciri khas menonjol pada mode pakaian tersebut. 4. Decora Dalam bahasa Jepang mode pakaian ini berarti imut atau kawaii. Ciri khas pakaian ini menggunakan warna yang cerah dan juga berwarna-warni. Dengan demikian dapat membuat pemakainya imut dan menggemaskan. Mode pakaian ini dibuat lebih girly. Selain itu, pemakai pakaian ini pun harus menirukan suara yang imut. 5. Visual Kei Pengguna model pakaian ini dikhususkan untuk lelaki. Terutama bagi mereka yang menyukai musik beraliran rock dan metal. Ciri khas yang lebih menonjol, terlihat pada gaya rambut dan riasan wajah yang identik dengan kesan maskulin dan gaya heavy metal. Pengguna pakaian ini disebut sebagai anak punk Jepang’. 6. Samantha Thavasa Bagi penggemar Hello Kitty, bisa mencoba gaya ini. Pada dasarnya nama Samantha Thavasa merupakan nama merk tas terkenal dan mewah di Jepang. Tas tersebut memiliki tokoh ikonik yaitu Hello Kitty. Karena kemewahannya, tas ini mampu menguasai pangsa pasar di Jepang dan menjadi item fashion para wanita. 7. Muji Mode pakaian ini diambil dari sebuah merek pakaian terkenal di Jepang. Diciptakan oleh Ryohin Keikaku, mode pakaian ini khusus diciptakan untuk pria yang ingin tampil dengan gaya casual namun tetap stylish dengan ciri khas celana khas Jepang. Pakaian ini pun diciptakan agar cocok dikenakan di segala suasana. Ciri Khas Fashion di Jepang Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, mode berpakaian khas Jepang senang memodifikasi dari tren mode pakaian yang telah lebih dulu terkenal. Sebagai contoh gothika lolita yang memiliki ciri khas pakaian era abad ke- 18 di Eropa dan dikombinasikan dengan sepatu boot dengan gaya tebal. Hal tersebut menjadi ciri khas gaya berpakaian di Jepang. Ciri khas lainnya dari segi penggunaan warna pakaian, Jepang senang menggunakan pakaian dengan warna yang saling bertolak belakang. Penggunaan warna cerah yang dikombinasikan dengan warna pastel menjadi ciri khas pakaian Jepang dari dulu hingga kini. Ciri khas lain yang mudah dikenali dari mode pakaian Jepang, yaitu senang menggunakan baju dengan model bertumpuk. Baik pakaian tradisional, seperti kimono dan model pakaian modern seperti harajuku selalu menggunakan model pakaian yang bertumpuk. Namun demikian tetap memberikan ciri khas yang unik bagi pemakainya. Tidak lupa dari segi penggunaan aksesoris pun, identik dengan aksesoris yang bertumpuk. Hal ini membuat Jepang memiliki ciri khas berpakaian yang berbeda dengan negara lainnya. Aksesoris yang digunakan mulai dari kepala, anting-anting dan juga gelang harus dilengkapi sebagai bagian dari mode pakaian ala Jepang. Adanya Klub Pecinta Fashion Jepang Mengingat Jepang menjadi salah satu negara yang menjadi kiblat mode, hal ini membuat banyaknya pecinta mode pakaian ala Jepang mendirikan klub khusus untuk penggemar mode pakaian Jepang. Bahkan tidak jarang, mereka pun seringkali saling bertukar informasi dan melakukan transaksi jual beli untuk item pakaian tersebut. Terlebih pada saat ini jumlah pecinta mode pakaian Jepang terus bertambah seiring dengan meningkatnya jumlah penggemar anime, manga dan dorama. Maka dari itu, terbentuknya klub pecinta fashion Jepang menjadi suatu wadah untuk saling bertukar informasi atas mode yang saat ini sedang hits di Jepang, sehingga tidak akan tertinggal informasi. Diantara anggota klub tersebut seringkali mengadakan pertemuan dan juga saling bertukar informasi atau sekedar saling memamerkan kostum kebangaannya masing-masing. Bahkan tidak sedikit yang berburu kostum dan aksesoris hingga ke luar negeri demi mendapatkan gaya ala Jepang. Setiap negara melakukan apresiasi yang berbeda-beda melakukan aktivitas dalam klub pecinta mode pakaian Jepang, termasuk di Jepang sendiri. Di Jepang perkumpulan anggota klub pecinta mode pakaian ala Jepang bertujuan untuk menambah keakraban antar sesama dan juga bertujuan untuk menunjukan berbagai aksesoris dan model pakaian terbaru. Sebagai negara maju, Jepang tidak hanya terkenal dengan budaya dan teknologinya saja. Fashion Jepang pun senantiasa banyak diikuti oleh negara-negara lainnya. Hal tersebut membuktikan pengaruh Jepang sangat kuat di dunia. Terlebih karena gaya berpakaian Jepang yang unik membuat menarik perhatian banyak negara lain. Baca juga Tokyo Style Street Fashion Seru untuk Anak Muda - Pada awal abad ke-20, penguasa Jepang dihadapkan pada menjamurnya gerakan kiri dalam berbagai macam bentuk, mulai dari pemberontakan petani, protes buruh, sampai penyebaran sosialisme melalui publikasi tulisan para intelektual kampus. Menurut Andrew Gordon dalam A History of Modern Japan 2014 167, kemunculan gerakan kiri terutama diinspirasi oleh kebangkitan komunisme selama Revolusi Rusia 1917, di samping respons terhadap ekspansi ekonomi kapitalis Jepang, semakin terjangkaunya akses pendidikan, dan idealisme politik. Yamakawa Hitoshi, Sakai Toshihiko dan Arahata Kanson mencita-citakan revolusi proletariat. Terinspirasi Bolshevik, ketiganya mendirikan Partai Komunis Jepang JCP dengan dukungan Komunis Internasional Komintern pada 1922. Namun demikian, JCP tidak pernah ada di mata pemerintah Jepang kala itu kecuali sebagai gangguan belaka. Kehadirannya dianggap mengusik tertib politik yang mengaggungkan kepatuhan terhadap kekaisaran dan militer. Pada 1925 pemerintah menegakkan undang-undang untuk mempertahankan ketertiban sosial, sebagai dalih untuk menggiring para intelektual kiri ke balik jeruji besi dan memaksa mereka membuang jauh-jauh ideologinya. JCP otomatis menjadi organisasi karya-karya sosialis tetap tumbuh subur. Sepanjang “dekade merah” dari 1920-an sampai 1930-an, sastra proletar hadir memberi warna pada lanskap budaya dan politik di Suara Perempuan Miyamoto Yuriko 1899-1951 adalah salah satu figur intelektual perempuan Jepang, seorang Marxis, dan feminis. Sebagaimana komunis zaman itu, ia terinspirasi Revolusi Oktober beserta cita-cita masyarakat tanpa kelas. Ia bertemu dengan orang-orang Rusia dan terkesan oleh cara mereka mendorong emansipasi politik dan ekonomi bagi kaum perempuan. Miyamoto pun memutuskan untuk mendedikasikan hidupnya untuk dunia sastra proletar, terutama demi mengangkat isu-isu perempuan kelas pekerja sebagai Chūjō Yuriko, Miyamoto besar dalam keluarga priyayi yang tak pernah mengenal hidup susah. Ayahnya adalah arsitek lulusan Universitas Tokyo yang kerap bertugas ke luar negeri, sementara ibunya adalah seniman sekaligus putri intelektual era Meiji bernama Nishimura Shigeki. Sejak muda, Miyamoto sudah terpapar banyak bacaan, mulai dari tulisan sastrawan kenamaan Jepang, Natsume Sōseki, sampai karya terjemahan Leo Tolstoy. Kesadaran Miyamoto akan ketimpangan kelas dan keprihatinannya terhadap kemiskinan mulai terpupuk sejak kecil. Kerap berlibur ke rumah keluarganya di Fukushima, ia mengamati para buruh yang bekerja untuk lahan pertanian kakeknya. Pengamatan tersebut dituangkan dalam tulisan berjudul “Desa Pertanian”. Ketika berusia 17 tahun, Miyamoto menulis ulang karyanya tersebut dengan judul “Sekelompok Orang Malang”. Naskah tersebut menarik perhatian kolega ayahnya, Tsubouchi Shōyō, profesor sastra di Universitas Waseda. Dengan rekomendasi Tsubouchi, tulisan Miyamoto berhasil diterbitkan di jurnal sastra bergengsi Chūō Kōron. Tak lama kemudian, Miyamoto ikut ayahnya dinas ke New York City dan menjadi mahasiswa tamu di Columbia University. Di sana, ia jatuh cinta dengan seorang Jepang, ahli linguistik Persia kuno bernama Araki Shigeru. Tanpa restu orangtua, Miyamoto menikah dengan Araki. Pernikahan tersebut dipandang Miyamoto sebagai pelarian dari tekanan orangtua dan gerbang menuju kemandirian. Selama ini, ia merasa dituntut oleh ibunya untuk mengejar karier setinggi-tingginya dan menikahi laki-laki mapan. Namun, tak butuh waktu lama buat Miyamoto untuk menyadari bahwa kehidupan pernikahan tidak menawarkan kebebasan dan kebahagiaan seperti yang didambakannya. Ia terutama menyadari bahwa Araki berasal dari latar belakang sosio-ekonomi berbeda. Akibatnya, Araki cenderung merasa cukup dengan apa yang sudah dimiliki. Sedangkan Miyamoto selalu merasa tak puas dan ingin terus tumbuh. Di buku hariannya tertanggal 23 April 1922, Miyamoto menulis, “[Araki] tidak akan berkembang, ia akan jadi biasa-biasa saja, semakin tua mungkin malah semakin kolot dan cemburuan". Bagi Miyamoto, jika dirinya sendiri bisa mengecilkan hasrat untuk berkembang, mungkin ia bisa menikmati hidup dan cukup menggantungkan hidupnya kepada seorang laki-laki. Di sisi lain, ia menyadari masalah ketergantungan perempuan kepada laki-laki dan mulai mengakui pentingnya bekerja serta memiliki penghasilan sendiri, supaya kelak terbebas dari dominasi ayah dan suami. Miyamoto pun bertanya-tanya, seperti apa rasanya jadi perempuan yang terjebak dalam kebuntuan hidup dan kemiskinan? Kegelisahan itu dituangkan dalam cerpen berjudul “Suatu Pagi Tanpa Mentari” 1924. Tokoh utamanya adalah seorang gadis teraniaya yang kehilangan ibunya sejak kecil dan tumbuh besar di bawah siksaan ibu tiri. Menginjak dewasa, ia bekerja sebagai asisten rumah tangga. Sempat dijodohkan dengan laki-laki berstatus sosial tinggi, ia gagal menikah. Akhirnya, ia menjemput masa tuanya sebagai buruh pabrik gula-gula, menjadi “seorang pelayan yang putus asa, seorang yang tak berarti tak berupa”. Melalui cerpen di atas, Miyamoto menyinggung cita-cita pernikahan yang konservatif di mana perempuan dipandang bisa menaikkan derajat sosialnya dengan menikahi laki-laki berstatus lebih tinggi. Pada waktu bersamaan, Miyamoto mulai menyoroti eksploitasi pekerja pabrik di Jepang yang semakin terindustrialisasi. Setelah bercerai dari Araki, Miyamoto menulis serial “Nobuko” 1924-1926 yang sedikit banyak berkaca pada pengalaman hidupnya. Dalam tulisannya, ia mengkritisi konsep pernikahan dalam masyarakat Jepang, termasuk berbagai pandangan dalam urusan rumah tangga dan sistem keluarga yang cenderung menghalangi anak perempuan dan istri untuk tumbuh menjadi individu yang merdeka. Infografik Miyamoto Yuriko & Komunisme Jepang. dengan Marxisme Pada mulanya, Miyamoto bukanlah penulis dengan afiliasi politik. Kritik-kritik sosialnya berangkat dari pengalaman pribadi sebagai perempuan dalam pusaran keluarga yang patriarkis dan konservatif di Jepang. Selama di Jepang, ia pun belum terpapar Marxisme. Miyamoto baru mengenal politik setelah menjalani kehidupan di Uni Soviet dan berkeliling Eropa sepanjang 1927-1930 bersama seorang penerjemah, Yuasa Yoshiko. Di Soviet, Miyamoto terkesan pada transformasi sosial yang melibatkan perempuan. Di negara sosialis pertama di dunia tersebut, Miyamoto memperhatikan bagaimana perempuan punya kesempatan untuk maju dan berdaya secara politik dan ekonomi, serta turut berkontribusi kepada kerja-kerja revolusi. Perjumpaannya dengan masyarakat Soviet yang egaliter akhirnya mendorong Miyamoto untuk menjadi seorang Marxis. Ia memutuskan untuk memperjuangkan perempuan dan keluarga kelas pekerja melalui karya sastra. Begitu kembali ke Jepang pada akhir 1930, ia bergabung dengan Liga Penulis Proletar Jepang dan aktif menulis di jurnal-jurnal perempuan. Tak lama kemudian, ia menjadi anggota Partai Komunis Jepang dan menikahi aktivis Miyamoto Kenji. Kehidupan suami-istri Miyamoto sarat penindasan aparat yang mengawasi gerak-gerik para aktivis kiri. Tak lama setelah menikah, suami Miyamoto dituduh membunuh polisi dan harus mendekam di penjara selama 12 tahun, tepatnya sampai 1945 ketika Amerika Serikat masuk ke Jepang dan membebaskan semua tawanan politik. Miyamoto sendiri bolak-balik masuk penjara. Ia sempat keluar penjara sebentar untuk menemani ibunya yang sekarat di rumah sakit. Di balik dinding bui pula ia mendengar kabar kematian sang ayah. Setelah menjadi anggota Partai Komunis dan menikah dengan aktivis partai, karya-karya Miyamoto mulai menampilkan tema yang berbeda, yakni peran revolusioner perempuan dalam keluarga proletar. Cerpen berjudul “Keluarga Koiwai” 1934, misalnya, mengisahkan dukungan seorang istri terhadap aktivisme suaminya yang berprofesi sebagai penulis. Dalam keterbatasan finansial, sang istri memutuskan mencari tambahan uang sebagai pelayan bar. Tokoh istri ini pula yang mendidik keluarga besarnya tentang pentingnya perubahan sosial di Jepang, agar kelak mereka bisa dapat akses kesehatan gratis dan hak-hak pekerja jadi lebih juga cerita berjudul “Payudara” 1935, salah satu karya Miyamoto yang memiliki pesan politik yang sangat kuat. Tokoh utamanya adalah seorang perempuan yang suaminya menjadi tawanan politik. Sang istri mendirikan tempat penitipan bagi anak-anak pekerja pabrik dan terlibat dalam gerakan buruh untuk menyokong kesejahteraan keluarga dipahami bahwa cerpen-cerpen Miyamoto berusaha menampilkan tokoh perempuan sebagai bagian dari kelas pekerja yang terlibat dalam kerja-kerja mencapai revolusi sosial. Seperti disorot oleh Angela Coutts 2012 dalam studi berjudul “Imagining Radical Women in Interwar Japan Leftist and Feminist Perspectives”, jurnal-jurnal sastra yang berafiliasi dengan gerakan komunis di Jepang kala itu memang minim akan kontribusi perempuan, termasuk publikasi tentang aktivisme perempuan Jepang. Kehadiran Miyamoto bersama kolega perempuannya, seperti salah satunya Sata Ineko, bisa sedikit mengimbangi dominasi pemikir laki-laki. Di satu sisi, pemikiran Miyamoto tidak bebas dari kritik. Seperti diamati oleh Coutts, Miyamoto adalah pemikir yang cenderung mengutamakan kelas daripada gender. Di mata Miyamoto, perempuan menjadi bagian dari kelompok kelas pekerja dan kaum proletar, alih-alih sebagai kelompok sosial yang independen dengan hasrat dan cita-cita politis tersendiri. Terlepas dari itu semua, kontribusi Miyamoto dalam dunia sastra proletar adalah warisan penting. Melalui karyanya, Miyamoto terutama berpesan kepada kaum pekerja Jepang, bahwa perempuan bisa punya inisiatif dan aktif berkarya untuk memperjuangkan perubahan sosial yang dekade 1930-an, ketika Jepang politik ekspansionis Jepang menyapu seluruh Asia, dan fasisme menghendaki kepatuhan rakyat 100 persen kepada kaisar dan para jenderal, kita tahu apa yang umumnya terjadi pada kaum komunis, musuh bebuyutan fasis sepanjang massa. Sebagian besar komunis Jepang mati atau meringkuk di penjara. Sisanya eksil. Kerja-kerja Miyamoto hingga akhir hayatnya ia meninggal pada 1951 adalah kerja-kerja penuh keberanian. - Sosial Budaya Penulis Sekar KinasihEditor Windu Jusuf

pelopor fasisme di jepang adalah